Uprava

Информационный сайт района Выхино-Жулебино

Month: December 2019

Jumlah Ateis Meningkat di Turki dan Timur Tengah

Jumlah Ateis Meningkat di Turki dan Timur Tengah – “Terdapat pemaksaan untuk urusan beragama di Turki,” kata Ahmet Balyemez. “Orang-orang bertanya pada diri mereka: ‘Apakah ini Islam yang sebenarnya?’”

Ahmet, 36 tahun, seorang ilmuwan komputer, tumbuh dalam keluarga muslim yang sangat religius. Deutsche Welle melaporkan Ahmet rutin salat dan puasa. Namun, muncul pertanyaan dalam dirinya yang menuntunnya keluar dari Islam dan menjadi ateis selama lebih dari 10 tahun. poker asia

Hal serupa juga dialami Merve, seorang guru SD. salahsatu media berita memberitakan bahwa sebelumnya, Merve mengaku sebagai muslim radikal. Begitu radikalnya, Merve tak mau berjabat tangan dengan pria. https://www.mrchensjackson.com/

Jumlah Ateis Meningkat di Turki dan Timur Tengah, Apa Penyebabnya?

“Namun, sekarang aku tidak tahu apakah Tuhan itu ada atau tidak, dan aku benar-benar tidak peduli,” tegasnya.

Jadi Alat Politik

Lima tahun yang lalu, Diyanet, Direktorat Urusan Keagamaan Turki, menyatakan bahwa lebih dari 90 persen populasi di negara tersebut adalah muslim. Tetapi, hasil survei dari lembaga riset sosial-politik Konda, yang dirilis beberapa bulan lalu, menyebut sebaliknya: masyarakat Turki semakin banyak yang jadi ateis. Jumlahnya naik tiga kali lipat dalam 10 tahun terakhir.

Pada umumnya, Turki merupakan negara yang menerapkan konsep sekularisme dalam kehidupan bernegara. Artinya, ada garis pemisah yang jelas antara urusan politik dan agama. Konsep sekularisme Turki sendiri, mengutip makalah Tayfun Kasapoglu Vytautas berjudul “Religion and Politics in Contemporary Turkey: Attitudes of Atheists” (2017, PDF), dicetuskan pertama kali oleh Mustafa Kemal Atatürk, pendiri Republik Turki.

Melalui pemisahan tersebut, Atatürk hendak menciptakan sistem pemerintahan modern yang lepas dari intervensi agama. Dia percaya bahwa perkara agama adalah urusan masing-masing individu—negara tak berhak mengatur.

Saat kurun waktu lima tahun (1924-1929), Atatürk memulai misinya mengenalkan sekularisme. Langkah-langkah yang ia ambil antara lain menghapus sistem kekhalifahan, meniadakan Kementerian Hukum Islam, menetapkan Minggu sebagai hari libur alih-alih Jumat, menempatkan sekolah keagamaan di bawah wewenang Kementerian Pendidikan, menghilangkan pernyataan “Islam sebagai agama negara” dari konstitusi, hingga memberlakukan aksara latin untuk menggantikan Arab.

Gebrakan Atatürk menghasilkan perubahan besar. Turki tak lagi berasaskan Islam. Namun, sejak itu pula sekularisme (selalu) menjadi konsep yang diperebutkan sekaligus membuka jalan bagi banyak konflik yang mewarnai lanskap politik Turki.

Ada pergeseran yang cukup signifikan pada awal 2000-an, ketika Recep Tayyip Erdoğan dan gerbong politiknya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berhaluan konservatif, berkuasa. Sejak menjabat sebagai perdana menteri pada 2002—hingga sekarang duduk di kursi presiden—Erdoğan melakukan islamisasi besar-besaran.

Dalam “Beyond the Straight Path: Obstacles and Progress for Atheism in Turkey” (2015, PDF), Maria Inês Teixeira mencatat langkah Erdoğan dimulai dengan menjalankan pemerintahan yang berasaskan prinsip-prinsip Islam. Implementasinya dapat dilihat dari kebijakan larangan menjual alkohol hingga seks di luar nikah. Erdogan mengklaim ingin membentuk generasi muslim Turki yang saleh.

Perlahan-lahan langkah Erdoğan mengubah cara pandang masyarakat Turki. Jajak pendapat yang dikutip dari studi Kasapoglu menyebutkan sekitar 79 persen orang Turki percaya agama selalu benar dan dapat dipakai untuk menyelesaikan segala permasalahan.

Pada saat bersamaan, pemaksaan ajaran Islam justru menciptakan resistensi dari masyarakat yang lain. Untuk segmen masyarakat ini, Erdoğan sekadar menggunakan Islam sebagai alat politik untuk mencari dukungan agar tetap bisa berkuasa. Mereka kritis pada pemerintah dan menolak (politisasi) agama dengan cara menjadi ateis. Mereka tak ingin Islam ditafsirkan secara tunggal oleh penguasa.

Imbas Arab Spring

Tidak hanya di Turki, pemandangan sama rupanya juga muncul di kawasan Timur Tengah. Di Mesir, didasarkan pada  jajak pendapat Universitas Al-Azhar Kairo (2014), sebanyak 10,7 juta orang—dari jumlah penduduk 87 juta—mengaku ateis. Di negara Arab Saudi, mengutip hasil riset WIN-Gallup International (PDF), sekitar 19 persen dari masyarakat mengaku tidak terlibat dalam praktik keagamaan dan lima persen lainnya ateis.

Popularitas ateisme merembet pula sampai dunia maya. Di masing-masing negara terdapat beragam laman Facebook dengan ribuan like dan pengikut. Di negara Irak, misal, lahir laman Facebook bertajuk “Agnostik dan Ateis Irak” yang punya 17 ribu pengikut dan 13 ribu tanda likes.

Terdapat dua faktor yang sebabkan munculnya gelombang ateis di jazirah Arab, demikian terang Tamer Fouad dalam artikel “The Arab Spring and the Coming Crisis of Faith” (2012). Pertama, masifnya berita tentang pembunuhan, pemerkosaan, hingga pembakaran rumah ibadah yang terjadi di banyak negara Timur Tengah. Kondisi ini membuat masyarakat bingung dan merasa tersesat dengan keyakinan yang mereka peluk.

Kedua, tidak berhasilnya kepemimpinan partai-partai Islam pasca-Musim Semi Arab (Arab Spring). Ini terlihat jelas, misalnya, di Mesir. Sesudah massa-rakyat yang memadati Tahrir Square berhasil menumbangkan kediktatoran Hosni Mubarak, harapan untuk pemerintahan yang jauh lebih baik seketika membumbung tinggi.

Namun, ekspektasi masyarakat Mesir gagal terpenuhi. Partai Kebebasan dan Keadilan—yang juga jadi tunggangan politik Ikhwanul Muslimin—ternyata tak bisa diharapkan. Ketidakmampuan untuk mengatasi krisis ekonomi, tingkat pengangguran yang tinggi, pelayanan publik yang buruk, dan perebutan kekuasaan dengan militer kian membuat masyarakat muak.

Fakta memalukan tersebut lantas menggiring publik pada keputusan untuk tak lagi memberikan suara mereka kepada Partai Keadilan dan Kebebasan (45 persen)—yang disusul keinginan untuk hidup tanpa memeluk agama.

Robert Putnam dan David Campbell, ilmuwan politik berasal dari Universitas Harvard dan Notre Dame sekaligus penulis American Grace: How Religion Divides plus Unites Us (2010), meyakinkan bahwa ateisme merebak ketika agama makin lama sukar dipisahkan berasal dari politik. Fenomena semacam ini, terang Putnam dan Campbell, lebih dulu terlihat di AS pada 1990-an tatkala banyak anak muda menentukan untuk jadi ateis sehabis memandang politisasi agama dan skandal seks yang menyerang Gereja Katolik.

Ancaman pada Ateis

Di Turki dan Timur Tengah, ateisme dipandang sebagai produk berasal dari teokrasi Kristen. Menjadi seorang ateis serupa saja melanggar prinsip-prinsip agama dan sebab itu harus dihukum agar jera serta “kembali ke jalur yang benar.”

Jumlah Ateis Meningkat di Turki dan Timur Tengah, Apa Penyebabnya?

Tak tanggung-tanggung, tiap negara mempunyai instrumen legal untuk menghukum para ateis. Di Turki, mereka yang mengaku ateis dapat dijerat dengan tuduhan “menghasut kebencian” yang termaktub dalam Pasal 216 KUHP. Hukumannya bisa enam bulan atau satu th. penjara.

Arab Saudi dan Kuwait justru berani menghukum lebih keras. Kedua negara tersebut sanggup menjatuhkan hukuman mati kepada ateis. Pada tahun 2015, misalnya, seorang pria asal Hafar al-Batin bernama Ahmad Al Shamri divonis mati dengan tuduhan murtad (keluar berasal dari Islam) selepas mengunggah konten berisikan pernyataan sikapnya perihal Islam di fasilitas sosial.

Demikian pula di Irak. Kendati tidak tersedia larangan pada ateisme, mengutip laporan NBC News, ateis tetap saja dipandang menghina Islam oleh organisasi-organisasi Syiah Iran yang berkuasa di pos-pos vital pemerintahan sejak Saddam Hussein tumbang pada 2003. Konsekuensinya jelas: orang-orang ateis sering jadi target kekerasan.

Retorika kebencian yang digelorakan para politikus (dan ulama), layaknya yang berjalan di Turki tatkala Erdogan menuduh ateis bersekongkol dengan teroris untuk “menggulingkan pemerintahannya” jadi justifikasi kalangan muslim—sebagai mayoritas—untuk melancarkan aksi-aksi perisakan yang apalagi diteruskan sampai ancaman kematian.

“Kadang-kadang mereka mengirim foto lebih dari satu bagian Al-Qaeda memenggal kepala orang dan memasukkannya ke ember,” menyadari Onur Romano, salah satu pendiri Asosiasi Ateisme Turki, kepada VoA News. “Mereka layaknya memberi menyadari kami, ‘Kepalamu akan berakhir di salah satu ember itu dan itulah nasibmu sepulang berasal dari kantor’.”

Banyaknya ancaman dan vonis hukuman yang tersedia di depan mata membuat ateis, baik di Turki maupun Timur Tengah, harus menyembunyikan keyakinannya.

Hubungan antara agama dan politik memang senantiasa berjalan dengan erat. Keduanya saling memengaruhi. Agama digunakan politikus sebagai kendaraan menuju singgasana, sedangkan politik digunakan agama untuk menegaskan hegemoni.

Sehingga, orang-orang dari kelompok minoritas seperti ateis inilah yang kena getahnya. Mereka jadi korban atas kebijakan politik-agama yang dibuat berdasarkan kepentingan pihak-pihak tertentu.

“Kami tak menghina agama, juga tidak menghina nilai-nilai [yang dipegang] banyak orang. Yang coba kami lakukan yaitu memberi tahu pada masyarakat apa itu ateisme. Dikarenakan, sejauh ini, orang-orang hanya berpikir bahwa ateis adalah mereka yang suka berpesta pora tiap malam, memperkosa selayaknya binatang, dan tidak punya etika,” tegas Romano. “Bagi mereka, pada kenyataannya, agama disalahartikan sebagai etika.”

Sisi Spiritualitas Islam Di Perth, Western Australia

Sisi Spiritualitas Islam Di Perth, Western Australia – Islamophobia – isu ini tidak menjadikan Australia menjadi Negara yang rasis dan diskriminatif. Walau berita teror mendera di berbagai belahan dunia Barat, masyarakat dan media Australia tetap berdamai dengan ragam budaya dan melindungi masyarakat Islam yang otentik. 

Islam merupakan agama teroris, itulah setidaknya paradigma umum yang kebanyakan masyarakat Barat pahami pasca penyerangan World Trade Centre (WTC), New York, 2001 hingga teror Paris yang baru saja terjadi pada November 2015 lalu. Miris, saat mendapati media telah memberitakan tentang meningkatnya Islamophobia maupun hate crime akibat berbagai teror yang dilakukan oleh militan radikal -yang mengatasnamakan dirinya beragama Islam-terhadap masyarakat dunia. idnpoker

Sisi Spiritualitas Islam Di Perth, Western Australia

Berita tersebut pun akhirnya melahirkan jenis phobia lainnya di Indonesia. Indonesia yang dikenal sebagai Negara dengan penduduk Muslim terbanyak pun dihantui oleh kekhawatiran. www.benchwarmerscoffee.com

Sebagai penganut agama Islam, tentunya Muslim di Indonesia akan khawatir kalau masyarakat Barat akan kurang bersahabat dengan masyarakat Muslim sejak maraknya teror-teror para militant radikalis tersebut. Namun, kembali kepada diri kita sendiri, benarkah persepsi kita mengenai kekhawatiran tersebut?

Untuk mencari kebenaran, tak benar jika kita bergelut dengan opini sendiri. Maka untuk membuktikan berbagai praduga, bukalah mata, dan amatilah sendiri apa yang ditunjukkan oleh dunia. Salah satunya, kita dapat coba langkahkan kaki ke salah satu benua terluas di dunia – Australia. Di Negara Kangguru ini, kita akan dibawa berpetualang ke berbagai corak budaya, juga dikenalkan dengan sisi otentisitas Islam yang hidup dan eksis di Australia.

Australia dan Budaya

Australia merupakan salah satu benua daratan tertua di dunia. Benua ini adalah pulau berpenghuni terbesar di bumi dan negara terbesar keenam di dunia. Penghuni asli Australia, orang-orang Aborigin dan Penduduk Pribumi Selat Torres, telah tinggal di Australia selama paling sedikit 40000 tahun dan mungkin sampai 60000 tahun.

Warga Australia lainnya adalah para migran atau keturunan migran yang telah datang dari hampir 200 negara sejak awal kolonisasi orang Eropa ke Australia pada tahun 1788. Sekarang, Australia memiliki penduduk 21 juta jiwa, meskipun 43 persen di antaranya tidak dilahirkan disana. Dengan demikian, warga Australia berasal dari berbagai latar belakang agama, ras, etnik dan sosial yang hidup bersama dalam harmoni dan kedamaian.

Tak heran jika pada akhirnya Australia menjadi Negara yang multikultural. “Masyarakat Australia umumnya dikenal individualis, namun sebenarnya masyarakat Australi itu sangat friendly dan tidak selalu hidup secara personal”, ungkap Manal R. Shehabi, salah satu mahasiswi Ph.D di The University of Western Australia.

Menurut Manal, Australia memiliki nilai-nilai kebebasan dalam beragama, kebebasan dalam berbicara (menyampaikan pendapat), demokrasi, dan kesetaraan gender. Nilai-nilai inilah yang kemudian menyatukan masyarakat Australia yang datang dari berbagai belahan dunia.

Australia dan Media (No Rasis! No Islamophobia!)

Media massa menjadi faktor terpenting dalam suatu pemerintahan. Media dituntut dalam kecepatan dan ketepatan menyampaikan informasi yang ada, dan menjadi salah satu faktor pendorong pembangunan bangsa. Di Perth, Australia Barat – salah satu daerah yang sudah sempat dijejaki – media massa memiliki peran dalam menyuarakan perdamaian bagi masyarakat Australia.

“Dahulu Australia adalah Negara paling rasis. Ketika saya hendak tinggal di Perth, saya melalui berbagai pemeriksaan dan wawancara hanya untuk memastikan bahwa saya ini berasal dari ras kulit putih.” Ujar Maureen Boland, salah seorang dosen di Curtin University dalam sebuah wawancara.

Namun menurut Maureen, rasisme sama sekali tidak membantu pemerintah Australia dalam memajukan negaranya. Australia adalah Negara yang besar, dan oleh karenanya pemerintah membutuhkan lebih banyak penduduk untuk membangun Australia.

Pada akhirnya, pemerintah pun mengeluarkan kebijakan baru dimana Australia terbuka bebas untuk para imigran yang hendak tinggal disana. Dan untuk mendamaikan seluruh masyarakat dari berbagai Negara, maka pemerintah menyatukannya melalui nilai multikulturalisme. “Jika kalian penduduk Muslim didiskriminasi atau tidak bisa mendapatkan pekerjaan disini karena beragama Islam, maka laporkanlah oknum itu ke pemerintah Australia untuk ditindaklanjuti!” tambah Maureen disela-sela ceritanya.

Agenda menyebarkan nilai multikultural yang merupakan kebijakan pemerintah tersebut tentunya tak luput dari peranan media massa. Dalam hal ini, media Australia tidak hanya berfungsi untuk memuat berita-berita yang berbau politik, namun juga berperan dalam menyuarakan kepada masyarakat agar mengatakan “Tidak pada rasisme!” dan “Tidak pada Islamophobia!” inilah salah satu tugas dan peranan dari media massa, yakni menyampaikan berita dengan akurat dan cover bothside (tidak memihak pada kalangan tertentu).

Menemukan Sisi Spiritualisme Islam di Perth, Australia

Sisi Spiritualitas Islam Di Perth, Western Australia

Berpetualang di negeri orang yang masyarakatnya minoritas Islam seringkali menyisakan sensasi tersendiri. Diawali dengan kebingungan akan kebersihan di toilet yang hanya menggunakan tissue, kebingungan dimana arah kiblat dan sulitnya mencari tempat untuk sholat.

Di Perth, Ibu Kota Australia bagian Barat, kita akan dipertemukan dengan beberapa komunitas pelajar Muslim yang menimba ilmu disana. Beberapa diantaranya adalah Curtin Muslim Students Association (CMSA) dan The Muslim Students’ Association of UWA (The University of Western Australia), sebuah universitas tertua di Australia.Menemukan mushola atau toilet dengan flusher air sebagai pembersihnya bagaikan menemukan sungai di tengah teriknya gurun pasir. Adalah sebuah kebahagiaan yang tak terkira ketika kita menemukan titik-titik kehidupan Islam di sebuah Negara sekuler dimana agama memiliki peran yang sangat sedikit dalam sebuah Negara.

Kedua komunitas ini dapat ditemukan di Curtin University dan UWA. Namun komunitas lainnya pun dapat ditemukan di beberapa kampus Australia lainnya. Di Curtin University, CMSA beranggotakan 3.500 mahasiswa Muslim yang sedang menuntut ilmu di kampus ini. Komunitas ini membantu mahasiswa Muslim dalam menjalankan ibadahnya juga memberikan informasi tentang pemahaman Islam yang benar pada mahasiswa lainnya. Dalam komunitas ini, seluruh pelajar Muslim dari berbagai Negara dipertemukan.

Sementara itu komunitas Muslim lainnya dapat kita temukan di The University of Western of Australia (UWA). Kampus ini memfasilitasi mahasiswa muslim dengan mushola yang berlokasi di Easter End (River End) Gedung Winthrop Hall. Mushola yang menjadi bagian dari gedung universitas ini terdiri dari dua lantai. Lantai bawah dikhususkan untuk mahasiswa dan staf pria, sementara lantai atas dikhususkan untuk mahasiswi maupun staf wanita.

Untuk keamanan dan kenyamanan para pengguna, mushola ini dilengkapi dengan sandi di tiap-tiap pintunya. Tidak hanya itu, toiletnya pun dilengkapi dengan tempat wudhu, dan juga flusher air. Di dalam sudut-sudut mushola, terdapat perpustakaan yang berisi ragam literatur Islam dan juga al-Qur’an. Papan yang bertuliskan jadwal sholat lima waktu pun terpampang rapi di dalamnya.

Di dalam mushola khusus wanita akan ditemukan mukena siap pakai yang terlipat rapi dalam rak-raknya. Bahkan mushola tersebut menyediakan hand and body khusus bagi wanita untuk beribadah dengan aroma yang sangat menenangkan. Mushola ini pun terbuka untuk kegiatan diskusi mengenai wawasan Islam yang sebenarnya.

Pada waktu-waktu sehabis shalat magrib biasanya akan terdengar lantunan-lantunan ayat al-Qur’an dari para mahasiswa UWA yang tengah menghafal al-Qur’an. “Kami menghormati komunitas Muslim disini, dan itulah mengapa kampus ini menyediakan tempat ibadah untuk Muslim,” ujar Tris, salah satu karyawan di UWA.

Agama Jain Di India: Menolak Kenikmatan Dunia, Mengapa?

Agama Jain Di India: Menolak Kenikmatan Dunia, Mengapa? – Para remaja dengan jumlah ratusan pemeluk agama Jain di negara India mulai menolak menikmati dunia untuk menjadi biarawan yang biasa berjalan tanpa alas, cuma makan makanan sedekah dan tidak akan pernah mandi atau memakai teknologi modern. Wartawan salahsatu media berita India Priyanka Pathak menelusuri alasan mereka.

“Saya tak kan pernah bisa memeluk anak perempuan saya lagi,” ujar Indravadan Singhi, sambil menahan suaranya yang bergetar. idn poker

Dia memalingkah wajah, memilih untuk tak menampakkan perasaan yang sesungguhnya sambil berkata, “Saya tidak akan pernah bisa memandang langsung ke matanya lagi.” https://www.benchwarmerscoffee.com/

Agama Jain Di India: Anak-Anak Muda Menolak Kenikmatan Dunia, Mengapa?

Dalam keadaan pasrah, dia menyaksikan teman-teman dan keluarganya berlalu lalang, mendekorasi ruang tamunya dengan jumbai emas dan merah muda untuk merayakan penolakan duniawi sang putri dan masuknya ia ke dalam kehidupannya sebagai seorang biarawati.

Pada hari-hari menjelang upacara perayaan, keluarga dan sanak saudara berdatangan dari berbagai kota untuk menghabiskan “hari-hari terakhirnya” melakukan hal-hal yang disukainya – bermain kriket di taman sekitar, mendengarkan musik dan makan di restoran favorit. Ia tak akan pernah sanggup jalankan hal-hal itu lagi.

Sebagai biarawati, Dhruvi yang tetap berusia 20 th. tidak akan pernah ulang memanggil dirinya dan sang istri dengan sebutan Ayah dan Ibu.

Ia akan mencabut rambutnya sendiri, selalu jalan bertelanjang kaki dan makan makanan sedekah.

Dia tidak akan pernah dapat menggunakan kendaraan apa pun, tidak akan pernah mandi, tidak akan tidur di bawah sejuknya kipas angin dan tidak akan pernah mengobrol menggunakan telepon genggam lagi.

Keluarga Singhi memang adalah bagian dari komunitas kuno Jain, kelompok agama minoritas yang memiliki 4,5 juta pemeluk.

Jain yang taat mengikuti tiap ajaran agama mereka di bawah bimbingan spiritual para biarawan. Hal tersebut termasuk resep terperinci untuk kehidupan sehari-hari, terutama apa yang boleh dimakan, apa yang tidak boleh dan kapan boleh memakannya.

Selama lima tahun belakangan, Indravadan Singhi dan istrinya sudah memerhatikan satu-satunya anak mereka – yang suka mengenakan celana jeans sobek dan bercita-cita memenangkan acara pencarian bakat Indian Idol – berubah menjadi sangat religius dan menarik diri.

Dengan menjalani deeksha, ritual penarikan diri dari keduniawian agama Jain, Dhruvi menarik dirinya dari kehidupan yang dia kenal.

Ia tidak sendiri. Ratusan remaja Jain lainnya, menjalani kegiatan yang sama. Jumlahnya meningkat setiap tahunnya, di mana lebih banyak anak perempuan yang melakukannya ketimbang anak laki-laki.

“Dahulu jarang sekali bisa ada 10-15 deeksha dalam satu tahun, sampai akhirnya mulai terjadi beberapa tahun lalu,” ungkap Dr Bipin Doshi, yang mengajar filosofi Jain di Universitas Mumbai.

Namun tahun sebelumnya, angka itu meningkat menjadi 250, dan ia yakin tahun ini akan mendekati 400 deeksha.

Pemimpin komunitas Jain mengaitkan kenaikan itu dengan tiga hal: kekecewaan yang tumbuh di kalangan anak muda dengan tekanan dunia modern, guru agama yang mengadopsi teknologi modern untuk mempermudah penduduk mengungkap ide religius yang mereka miliki, dan terakhir, sebuah superstruktur retret keagamaan yang terlalu mungkin anak muda bereksperimen dengan kehidupan biara, jauh sebelum mereka pilih untuk berkomitmen menjalankannya.

Tekanan kehidupan modern

Tekanan ekonomi serta sosial di dunia yang “begitu-saling-terhubung” turut mengakibatkan terjadinya fenomena ini, tutur Dr Joshi.

“Apa yang terjadi di New York, atau apa yang terjadi di Eropa, Anda melihatnya pada saat yang sama. Sebelumnya, kompetisi kita terbatas hanya sampai jalan di mana kita tinggal.

“Sekarang terdapat kompetisi dengan dunia,” tandasnya, yang menambahkan bahwa budaya Fomo (fear of missing out), alias takut ketinggalan, membuat lebih banyak anak muda mencoba dan melarikan diri dari segalanya.

“Ketika Anda melakukan deeksha atau menolak keduniawian, tingkat spiritualis, derajat sosial, derajat keagamaan Anda menjadi begitu tinggi, bahkan orang terkaya pun akan turun dan membungkuk pada Anda,” tambahnya.

Pooja Binakhiya, fisioterapis yang melakukan deeksha bulan sebelumnya, mengatakan bahwa fokus hidupnya betul-betul berubah setelah ia menjadi seorang biarawati.

Jika dulu hari-harinya diisi dengan masalah keluarga, pertemanan, penampilan dan karir, ia mengatakan kini ia tak lagi harus memikirkan bagaimana ia sebaiknya tampil di hadapan teman-temannya.

“Di sini kami hanya berkhayal mengenai jiwa, jiwa dan jiwa,” tuturnya dengan tenang.

‘Guru’ fasilitas sosial

Beberapa hari menjelang deeksha, Dhruvi menyatakan bahwa gurunya adalah “segalanya baginya”.

“Ia adalah dunia saya. Apapun yang dikatakannya, itu dia.”

Hampir seluruh calon biarawan dan biarawati Jain berkata dengan kehangatan yang serupa dengan guru-guru mereka. Jelas bahwa para pemimpin spiritual ini menginspirasi kepatuhan dan loyalitas yang luar biasa besar.

Dr Doshi menuturkan bahwa hal itu tidak selalu demikian dulu.

“Sebelumnya para pertapa lebih bersikap tertutup dan hanya tertarik pada pemurnian diri mereka sendiri,” ujarnya. Namun kini, tambahnya, mereka lebih terlibat dan secara aktif mendekati kaum muda pada khususnya.

“Mereka adalah orator yang baik dan menawari anak-anak muda sebuah jalan yang sederhana, mereka tertarik.”

Hingga setidaknya 10 tahun yang lalu, umat Jain cuman bergantung pada literatur yang ditulis dalam bahasa India Kuno seperti Ardha Magadhi atau Sansekerta. Kini, literatur keagamaannya hadir dalam berbagai bahasa, terutama Bahasa Inggris.

“Kisah tentang agama Jain dibikin film-film pendek, yang sanggup dibagikan ke media sosial. Membaca buku bisa saja tak perlu tetapi dengan hanya saksikan satu cerita kecil dalam satu-dua menit sanggup amat merubah anak-anak muda sebenarnya,” kata Dr Doshi.

Kumpulan video itu, umumnya tersebar via pesan WhatsApp, merupakan film-film yang diproduksi dengan baik yang seringkali mengglorifikasi penolakan keduniawian dan terkadang waktu terutama menggambarkan biarawan/wati sebagai pahlawan super.

Muni Jinvatsalya Vijay Maharajsaheb, biarawan dari Jain, mengatakan bahwa dalam lebih dari setahun terakhir, film-film yang diproduksi berbagai LSM Jain telah memainkan peran harus dalam mempunyai dampak akses keagamaan malah enteng dicapai oleh pengikut-pengikut muda.

Ia sendiri telah mempublikasikan sejumlah video YouTube yang telah ditonton jutaan kali.

“Jika seseorang dambakan mendekati anak-anak muda, lebih ringan untuk menghampiri mereka dibanding coba mempunyai mereka ke sini,” katanya. “YouTube adalah pilihan terbaik sebab itulah area di mana anak-anak muda menghabiskan beberapa besar selagi mereka ketika sedang online”.

Retret keagamaan

Dhruvi mengemukakan bahwa sebuah Updhyan – retret selama 48 hari yang dia ikuti lima tahun. kemudian – jadi “percikan awal yang membuatku mengayalkan kehidupan biarawati”.

Agama Jain Di India: Anak-Anak Muda Menolak Kenikmatan Dunia, Mengapa?

Di bawah kepemimpinan salahsatu guru, retret itu memperbolehkan penganut Jain biasa untuk mencicipi kehidupan biarawan/wati – tanpa sepatu, listrik dan mandi.

Umumnya biarawan/wati pemula menyoroti segi melelahkan retret itu – yang mana para guru menasihati mereka untuk menampik dunia yang “penuh dengan penderitaan” – sebagai momen ketika mereka memutuskan untuk menjadi biarawan/wati.

Namun retret semacam itu tidak dapat ditunaikan sekali saja.

Hitesh Mota, yang menggelar deeksha di Mumbai, mengatakan bahwa kebanyakan pesertanya menjalani serangkaian retret pendek untuk “secara perlahan membangun kepercayaan diri bahwa ya, saya bisa hidup seperti ini hidup seperti ini untuk sedikit lebih lama lagi di lain kesempatan”.

“Kau tahu ketakutan kehidupan biarawan/wati, ketakutan mengorbankan segalanya. Ketakutan itu dihilangkan selama retret. Ini merupakan langkah pertamanya, semacam kamp pelatihan untuk menjadi seorang biarawan/wati.”

Bulan lalu, sebuah retret di kota Nashik berakhir dengan sebuah prosesi perayaan di mana kereta-kereta kuda mengangkut 600 peserta yang mengenakan pakaian berkilauan. Kebanyakan dengan umur di bawah 25 tahun dan kabarnya ratusan di antaranya mengungkapkan hasrat untuk menjalani deeksha.

Salah satunya merupakan Het Doshi yang masih berusia 12 tahun.

Sebagai siswa cerdas yang juga juara berselancar, Het harus melewatkan tiga perlombaan selancar dan absen beberapa minggu dari sekolah untuk mengikuti retret. Kakinya dipenuhi lecet dan bisul, dan beratnya pun turun 18kg selama retret tersebut. Namun, Het mengatakan bahwa sebuah nyala api telah dihidupkan di dalam hatinya.

“Guru saya mengatakan bahwa tak ada yang baik di dunia,” ujar Het, mengucapkan kata-kata yang tampaknya ia sendiri tak benar-benar pahami.

“Saya tak suka satu pun hal di dunia fana ini. Saya mau beralih dari karma-karma saya, dosa-dosa saya. Untuk itu saya ingin menjalani deeksha. Guru saya mengatakan bahwa saya sebaiknya secepatnya melakukan itu dari pada nanti, makanya saya ingin melakukannya sebelum saya berusia 15 tahun.”

Orang tuanya melihatnya dengan bangga. Namun tak seluruh orang tua merasakan hal yang sama terkait penolakan keduniawian yang dilakukan anak-anak mereka.

Dhruvi mesti bekerja keras untuk mendapatkan dukungan orang utanya. “Keluarga saya sangat marah saat saya memberitahu mereka,” ujarnya.

Dia juga berhenti menyebut kata ‘deeksha’ selama beberapa tahun, karena sadar bila dia terus menerus memaksakannya, dia dapat kehilangan kebebasannya bepergian bersama sang guru.

Meski akhirnya ia berhasil meluluhkan perlawanan keluarganya, ketakutan mereka tetap bergeming di bawah permukaan.

Waktu pagi hari upacara penolakan keduniawian Dhruvi, sang ayah memeluknya untuk terakhir kalinya sebelum dia mengenakan pakaian biarawati, kesedihan tergurat di wajahnya.

“Semua kemegahan ini adalah satu hal,” ujarnya. “Kembalilah dalam dua tahun untuk melihat bagaimana hasilnya.”

Back to top