Uprava

Информационный сайт района Выхино-Жулебино

Sensitivitas Beragama di Negara Perancis

Sensitivitas Beragama di Negara Perancis. – Francois Raillon merupakan seorang akademisi dan pakar Indonesia yang berbasis di Perancis. Dia adalah pendukung gerakan mahasiswa Indonesia. Dia pernah menerbitkan sebuah buku berjudul ‘Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974’.

Satu hari setelah insiden penembakan di kantor majalah Charlie Hebdo yang terkenal kerap menyinggung berbagai agama, warga Perancis saat ini masih sangat terkejut, marah, merasa tidak aman, dan takut. Demonstrasi terjadi di mana-mana, baik di Paris maupun di sejumlah kota besar lainnya. Pemerintah Perancis bahkan menyatakan dalam keadaan berkabung selama tiga hari. poker99

Sensitivitas Beragama di Perancis

Namun, saat ini situasi masih tergolong aman. Serangan tembakan di kantor Charlie Hebdo yang terkenal kerap menyerang ekstremis Islam, tidak memberikan dampak negatif secara khusus terhadap kehidupan beragama di Perancis. https://www.americannamedaycalendar.com/

Sejumlah komunitas Islam di negara Perancis menegaskan bahwa serangan tersebut  tak sesuai dengan ajaran agama Islam yang tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an.

Francois Raillon

Satu persatu pemimpin komunitas Islam di negara Perancis dan rektor Masjid Paris, Monsieur Dalil Boubakeur, telah memberikan pernyataan resmi di sejumlah media lokal. Boubakeur, yang merupakan tokoh yang cukup disegani menyatakan bahwa penembakan yang menewaskan 12 orang tersebut tidak berkaitan dengan umat Islam secara keseluruhan, khusunya umat Islam di Perancis.

Rektor yang merupakan pendatang dari Aljazair itu membuat pernyataan yang mendukung sikap pemerintah Perancis, bahwa terorisme harus ditumpas dengan segala cara. Hal lainnya, beliau juga menyatakan bahwa serangan tersebut tidak terkait dengan umat Islam di Perancis, dan umat Islam berbagi rasa takut dan simpati dengan warga Perancis lainnya.

Sejumlah komunitas Islam di Perancis juga turut mengutuk serangan itu dan menegaskan bahwa tindakan itu tidak sesuai dengan ajaran agama Islam yang tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an.

Warga Islam, dengan berjumlah cukup banyak di Perancis, dapat menjalankan aktivitas ibadah seperti biasa. Sebagai negara yang moderat, aktivitas beribadah memang dilindungi oleh konstitusi Perancis. Bahkan masjid justru mendapat penjagaan yang ketat oleh pihak kepolisian.

Islam, yang dibawa ke Perancis oleh pendatang, dianut oleh cukup banyak warga Perancis. Ada sekitar 4,7 juta warga Islam di Perancis. Jumlah tersebut mencapai sekitar 10 persen dari total penduduk Perancis.

Tetapi, pemerintah Perancis memang tidak memperbolehkan warganya untuk memperlihatkan atribut agama. Perancis adalah negara yang moderat. Masalah agama dianggap masalah pribadi.

Sejak pertama kali didirikan, majalah Charlie Hebdo memang terkenal penuh provokasi dan anti agama. Kultur anti-agama ini telah ada sejak abad ke 18, yang mana saat itu Perancis menganggap agama sebagai sumber perang dan sumber kesulitan sosial.

Kultur anti-agama ini menjadikan masyarakat Perancis bersifat agak segan untuk menunjukkan atribut agama. Di Perancis, agama merupakan masalah yang sensitif. Penggunaan atribut agama di ruang publik dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan nyawa penganutnya, karena dapat menjadi sumber konflik antar komunitas beragama.

Maka, pemerintah Perancis mengeluarkan peraturan terkait pelarangan wanita memakai cadar, hijab bagi wanita Muslim. Begitu juga dengan atribut agama Katolik, maupun agama lainnya.

Penduduk Perancis memang mayoritas beragama Katolik. Namun, warga yang taat menjalankan agama, seperti ke gereja setiap hari, sudah mulai menurun.

Sekitar seperlima dari masyarakat Perancis atheis, tidak yakin akan Tuhan tapi menjunjung humanisme, yakni bahwa seluruh orang bersaudara. Warga Perancis menilai agama tak boleh jadi penghalang komunikasi sesama manusia.

Namun, aku tidak menampik bahwa sentimen anti-Islam, biarpun tidak mengenai segera bersama insiden penembakan Charlie Hebdo, memang keluar di Perancis.

Gerakan anti-Islam utamanya mampir dari partai ekstrem kanan, National Front yang dipimpin oleh Marie Le Pen. Paska insiden di kantor Charlie Hebdo, partai ini udah sebabkan pernyataan, yang intinya mereka idamkan para pendatang lebih dikontrol.

Partai National Front memang memiliki program politik untuk membatasi dan bahkan memulangkan imgran di Perancis.

Sensitivitas Beragama di Perancis

Warga Perancis merupakan masyarakat beragama yang anti para penyerang dan berdemokrasi. Meskipun dalam beberapa hari ini emosi masyarakat masih tinggi, saya berharap Perancis akan tetap moderat. Semoga situasi dapat segera mereda. Semoga tidak akan ada serangan balasan, meskipun tingkat kewaspadaan harus ditingkatkan.

Perancis memberikan kebebasan berekspresi bagi para kartunis satir. Sementara Perancis sendiri sejak tahun 2004 melarang siswi-siswi muslimah untuk mengenakan hijab di sekolah. Tidak hanya itu, larangan berhijab juga dikenakan bagi para orang tua dan pengasuh yang mengantar anak ke sekolah.

Contoh lain, yaitu ironi dari praktik kebebasan berekspresi di Kerajaan Inggris. Di sana, kebebasan berpendapat dan berekspresi terjamin. Bahkan, jika ingin mencela dan memaki pun juga boleh.  Misalnya mencela perdana menteri Inggris. Namun, ada larangan mencela Ratu Elizabeth. Jika mencela Ratu Inggris, maka bersiap berurusan dengan kepolisian kerajaan.

Fakta ini membuktikan bahwa tidak ada satu pun kelompok, negara atau bangsa yang menganut paham kebebasan yang mutlak dan tanpa batas. Bahkan pada Deklarasi Universal HAM (DUHAM) PBB yang dideklarasikan pada 10 Desember 1948, meski ada jaminan untuk bebas berpendapat dan berekspresi, pelaksanaan  hak tersebut ada batasnya. Pembatasnya adalah pasal 29 ayat 2 pada deklarasi yang sama, berbunyi, “Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud sekedar untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi persyaratan aspek moralitas, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis”.

Pelecehan dan penghinaan terhadap simbol-simbol penting yang disucikan dalam agama (seperti nabi dan Alquran) melalui kartun satir Majalah Charlie Hebdo ini bukan yang pertama kali. Dulu, ada film Innocent of Muslims yang dibuat oleh seorang pria keturunan Israel-Amerika, Sam Bacile, dan didukung oleh Terry Jones, pastor yang beberapa tahun lalu pernah merencanakan pembakaran Alquran untuk memperingati tragedi 11 September yang dituduhkan kepada umat Islam. Selain itu, ada juga Salman Rushdi dengan buku the Satanic Verses, dan Geertz Wilders (politisi asal Belanda) yang membuat film Fitna yang keduanya melecehkan dan menistakan simbol-simbol yang dimuliakan oleh komunitas muslim.

Pertanyaan penting yang perlu diajukan: mengapa penistaan, penghinaan, dan pelecehan terhadap agama terus terjadi meski menuai protes dan kecaman? Penyebabnya, karena mereka belum pernah mendapatkan pelajaran dan hukuman yang setimpal atas perbuatannya itu.

Karenanya, penulis mendukung upaya diplomasi internasional yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui forum PBB, agar ditetapkan protokol dan instrumen hukum internasional yang melarang pelecehan terhadap simbol-simbol agama, sekaligus menetapkan hukuman bagi para pelakunya.

Last but not least, bagaimana menyikapi kartun satir dan propaganda hitam sejenisnya yang menghina simbol-simbol agama yang disucikan itu? Seyogyanya, komunitas beragama yang tersinggung tetap tenang dan tidak melawan hal itu dengan cara–cara yang naif, seperti: merusak hak milik (orang lain) dan fasilitas umum, apalagi sampai melakukan aksi teror dan pembunuhan. Ini adalah cara-cara yang dilarang oleh agama. Yang terpenting adalah kita mengingkari kartun satir rendahan seperti itu, sembari memberikan argumentasi yang meluruskan kesalahpahaman terhadap esensi ajaran agama.

Kita harus menebar simpati dan akhlak mulia. Sebaliknya, jika kita melakukan ekstremisme dan anarkisme, para penista agama itu akan bertepuk tangan dan berkata dengan jumawa: “Kartun satir yang kami buat ini hanyalah episode ringkas dari kebiadaban Islam dan para pemeluknya. Episode-episode lengkapnya dapat disaksikan melalui aksi-aksi kekerasan yang terjadi di berbagai belahan dunia Islam.”

Leroy Thompson

Back to top